Khutbah Jumat
Masjid Nurul Islam Kebun
Daging Kota Jambi
Bencana
sebagai Alarm Peringatan dari Alam
Khatib : Ust Dr H Hasbullah Ahmad, MA
(Owner Sekolah Qur’an Hadis dan Sains Jambi, Dosen Tetap Ilmu al-Qur’an, tafsir dan Hadis UIN STS Jambi, Wakil Rois Syuriah PWNU Provinsi Jambi dan Ketua Komite Dakwah Khusus MUI Kota Jambi, Wakil Pimpinan Ponpes PKP al Hidayah Jambi)
DOWNLOAD FILE PDF DISINI!
اَلْـحَمْدُ
لِلّٰهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا نِعَمًا، وَأَظْهَرَ فِي الْكَوْنِ آيَاتٍ
تُذَكِّرُنَا حِكَمًا، وَبَسَطَ لَنَا فِي الْأَرْضِ خَيْرًا نَجْنِيهِ فَهْمًا،
وَنَبَّهَنَا إِلَى مَا نُحْدِثُهُ فِيهَا رَشَدًا وَاهْتِمَامًا. أَشْهَدُ أَنْ
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ إِقْرَارًا وَوَعْيًا
وَالْتِزَامًا، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الَّذِي هَدَانَا نُورًا وَرَحْمَةً وَسَلَامًا. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ
عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ. فَيَا أَيُّهَا
الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ تَعَالَى ، وَقَدْ
قَالَ:وَاتَّقُوا اللّٰهَ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Jamaah kaum
muslimin yang dirahmati oleh Allah,
Segala puji kita
panjatkan ke hadirat Allah Swt, Tuhan yang senantiasa mencurahkan karunia
kepada kita tanpa henti. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw yang menunjukkan kita jalan kebenaran dengan
akhlak yang lembut dan ajaran yang berkah, juga kepada keluarganya para
sahabat, dan seluruh umat Islam yang meneladani sunnah-sunnahnya hingga hari
akhir.
Jamaah kaum muslimin
yang dirahmati oleh Allah,
Marilah kita menguatkan
ketakwaan kepada Allah Swt dengan memperbanyak amal yang diridhai dan menjaukan
diri dari setiap larangan-Nya. Karena setiap tingkah laku kita akan diketahui
dan dicatat oleh-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt yang terkandung dalam surat
Al-Maidah ayat 8:
وَاتَّقُوا اللّٰهَ اِنَّ
اللّٰهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Jamaah kaum muslimin
yang dirahmati oleh Allah,
Jika kita menengok
keadaan alam saat ini, khususnya di Indonesia, maka kita akan melihat begitu
banyak perubahan yang mengkhawatirkan. Sungai yang dulu jernih kini keruh dan
tercemar oleh limbah serta sampah. Udara yang seharusnya menjadi sumber
kehidupan justru dipenuhi asap dan polusi. Hutan yang dahulu rimbun, tempat
berbagai makhluk hidup dengan ekosistemnya, kini banyak yang hilang akibat
pembabatan penggundulan hutan tanpa reboisasi.
Semua kerusakan itu,
terjadi karena ulah kita sebagai umat manusia yang enggan merawat alam. Yakni,
ketika kita lebih mementingkan keuntungan sesaat daripada kelestarian, ketika
keserakahan mengalahkan kepedulian, dan ketika hawa nafsu lebih kuat daripada
tanggung jawab.
Allah Swt telah
mengingatkan kita dengan sangat jelas nan tegas bahwa kerusakan yang tampak di
darat maupun di laut bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja tetapi
akibat ulah kita sebagai manusia, agar kita sadar, kembali, dan memperbaiki
diri. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ
الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Artinya: “Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui
hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka
agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Jamaah kaum muslimin
yang dirahmati oleh Allah,
Al-Baidhawi dalam
Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, jilid 4, halaman 208 menjelaskan, makna fasad
yang berarti kerusakan pada QS. Ar-Rum ayat 41 tersebut, sebagai berbagai
bencana alam yang tampak di darat dan laut, karena ulah manusia.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ كَالْجَدْبِ وَالْمَوْتَانِ وَكَثْرَةِ الْحَرْقِ
وَالْغَرَقِ وَإِخْفَاقِ الْغَاصَّةِ وَمَحْقِ الْبَرَكَاتِ وَكَثْرَةِ
الْمَضَارِّ، أَوِ الضَّلَالَةِ وَالظُّلْمِ وَقِيلَ الْمُرَادُ بِالْبَحْرِ قُرَى
السَّوَاحِلِ، وَقُرِئَ: وَالْبُحُورِ. بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ بِشُؤْمِ
مَعَاصِيْهِمْ أَوْ بِكَسْبِهِمْ إِيَّاهُ
Artinya: “(Kerusakan di
darat dan di laut) itu tampak dalam bentuk kekeringan, kematian, banyaknya
kebakaran dan tenggelam (banjir atau tsunami), gagalnya usaha, hilangnya
keberkahan, meningkatnya mudarat (kesialan), atau berupa kesesatan dan
kezaliman. Dan ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan laut adalah
desa-desa pesisir, dan terdapat pula qira’ah dengan lafaz al-buhur. (Semua itu)
disebabkan oleh apa yang diperbuat tangan manusia yakni karena buruknya dampak
maksiat mereka atau karena perbuatan mereka sendiri.”
Jamaah kaum muslimin
yang dirahmati oleh Allah, Fenomena alam yang kita saksikan hari ini,
menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang nyata. Banjir datang lebih sering, suhu
udara sekitar pemukiman menjadi tidak stabil dan cenderung panas, hutan terus
menyusut, dan polusi ada di mana-mana. Semua ini bukan terjadi tanpa sebab,
melainkan akibat dari ulah kita sebagai manusia tamak yang mengabaikan
keseimbangan dan melampaui batas yang Allah tetapkan bagi bumi. Bencana
yang terjadi seakan mengajak kita untuk merenung, melihat kembali cara kita
memperlakukan bumi, dan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat. Allah
menegaskan dalam QS. Asy-Syura ayat 30:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ
مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
Artinya: “Musibah apa
pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan (Allah)
memaafkan banyak (kesalahanmu).”
Wahbah Az-Zuhaili dalam
Tafsir al-Munir, jilid 25, halaman 72 menegaskan, musibah atau bencana yang
menimpa manusia tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi memiliki keterkaitan
dengan perbuatan manusia. Ia menjelaskan bahwa berbagai bencana dan keadaan
yang tidak menyenangkan, seperti sakit, kekeringan, tenggelam, petir, gempa,
dan semisalnya, sering kali muncul sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan
kepada alam.
Jamaah kaum muslimin
yang dirahmati oleh Allah, Kita memahami bahwa kerusakan alam dan bencana yang
terjadi bukan sekadar peristiwa natural atau hanya takdir Tuhan semata, tetapi
sangat terkait dengan perilaku kita yang mengabaikan kelestarian. Ketika
keseimbangan alam dirusak, maka dampaknya akan kembali kepada manusia, sebagai
pengingat agar kita memperbaiki sikap dan menghentikan kebiasaan yang merugikan
lingkungan.
Rasulullah
Saw mengingatkan hal itu dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ
خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللّٰهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ
تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ
فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
Artinya: “Sesungguhnya
dunia itu manis lagi hijau. Dan sungguh, Allah menjadikan kalian sebagai
pengelola (khalifah) di dalamnya untuk melihat bagaimana kalian beramal. Maka
berhati-hatilah terhadap godaan dunia, dan berhati-hatilah terhadap godaan
perempuan, karena fitnah pertama yang menimpa Bani Israil adalah pada urusan
perempuan.” (HR. Muslim)
Untuk itu, marilah kita
jaga dan rawat alam ini dengan penuh kesadaran sebagai bagian dari ketakwaan
kita kepada Allah Swt. Mari kita mulai dengan langkah-langkah kecil seperti
mengurangi sampah, menjaga kebersihan lingkungan, menanam pohon, serta
menghindari perbuatan yang merusak alam. Semoga Allah menjadikan kita menjadi
hamba-Nya yang amanah dalam memelihara bumi dan menjauhkan kita dari musibah.
Aamiin ya rabbal alamin.
بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ
فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ
اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ
اللّٰهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Hindari
Sikap Julid dalam Kehidupan
Ust Dr KH Hasbullah Ahmad MA
(Owner Sekolah Qur’an Hadis dan Sains
Jambi, Dosen Tetap Ilmu al-Qur’an, tafsir dan Hadis UIN STS Jambi, Wakil Rois
Syuriah PWNU Jambi dan Ketua Komite Dakwah Khusus MUI Kota Jambi, Wakil
Pimpinan Ponpes PKP al Hidayah Jambi)
DOWNLOAD PDF DISINI!
اَلْـحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي
أَمَرَنَا بِصِيَانَةِ اللِّسَانِ عَنِ الْمُسْلِمِينَ، وَنَهَانَا عَنِ
الْغِيبَةِ وَالنَّمِيمَةِ وَالظُّلْمِ لِلنَّاسِ أَجْمَعِينَ، وَوَعَدَ لِمَنْ
طَهَّرَ قَلْبَهُ وَحَفِظَ لِسَانَهُ جَنَّاتِ النَّعِيمِ وَرِضْوَانَ رَبِّ
الْعَالَمِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا وَشَفِيْعَنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَدَّى الْأَمَانَةَ وَبَلَّغَ الرِّسَالَةَ وَنَصَحَ
الْأُمَّةَ حَتَّى أَتَاهُ الْيَقِيْنُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى
نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ. فَيَا أَيُّهَا
الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ تَعَالَى ، فَقَدْ
قَالَ فِي الْقُرْآنِ الْمُبِينِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللّٰهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا
عَظِيْمًا
Kaum
muslimin yang dirahmati oleh Allah,
Syukur
kepada Allah SWT dan Sholawat kepada Rasulullah adalah sebuah keniscayaan dalam
kehidupan kita, maka marilah kita terus meningkatkan kualitas takwa kepada
Allah Swt, dengan memperbanyak amal saleh dan menahan diri dari segala bentuk
keburukan. Salah satu caranya adalah dengan menjaga hati dan lisan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebab dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 70-71
disebutkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ يُّصْلِحْ لَكُمْ اَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar. Niscaya Dia (Allah) akan memperbaiki amal-amalmu dan
mengampuni dosa-dosamu. Siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia
menang dengan kemenangan yang besar.”
Kaum
muslimin yang berbahagia,
Di
zaman sekarang, kita semakin sering menemukan, perilaku julid yang seolah-olah
dinormalisasi oleh sebagian masyarakat. Berbagai platform media sosial yang
seharusnya menjadi tempat atau sarana untuk berbagi kebaikan, justru penuh
dengan sikap julid dalam bentuk komentar-komentar negatif, cibiran, dan olokan
terhadap orang lain.
Padahal,
aktivitas semacam itu sangat tidak diperbolehkan dalam Islam. Seperti yang kita
sama-sama tahu, bahwa julid merupakan perilaku iri terhadap keberhasilan orang
lain di sekitar kita, yang tercermin lewat tindakan mengomentari atau menyindir
mereka dengan tujuan menjatuhkan atau mencemooh.
Tanpa
tersadari, terkadang kebiasaan ini kita lakukan secara langsung lewat ucapan,
namun tidak jarang pula lewat tulisan di media sosial. Mengapa perilaku yang
demikian sangat tidak diperkenankan bagi seorang muslim? Sebab, tindakan julid
setidaknya beririsan dengan 3 perbuatan tercela yang terlarang dalam Islam,
yakni hasad, ghibah, dan namimah.
Kaum
muslimin yang berbahagia,
Julid
sering kali lahir dari perasaan hasad (iri hati). Yakni, saat seseorang
merasa tidak senang melihat keberhasilan, kebahagiaan, atau kelebihan orang
lain, maka rasa iri itu muncul dan tersalurkan lewat komentar, ujaran
kebencian, dan sindiran. Fenomena perilaku semacam ini merupakan salah satu
bentuk julid yang paling sering kita temukan dalam kehidupan, baik di dunia
nyata atau dalam ruang digital sehari-hari.
Kita
sebagai hamba Allah yang merasa diri sebagai muslim, tidak boleh melakukan hal
tersebut. Secara tegas dilarang oleh Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadits,
bersumber dari Anas bin Malik disebutkan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ
رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَبَاغَضُوا،
وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللّٰهِ
إِخْوَانًا،
“Dari
Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, Janganlah kalian saling
membenci, jangan saling iri hati (hasad), dan jangan saling membelakangi.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim).
Kaum
muslimin yang dirahmati oleh Allah,
Selain
mengarah kepada hasad, julid juga hampir selalu berujung pada ghibah
(menggunjing). Orang yang julid kerap membicarakan keburukan orang lain,
mengomentari penampilan, ucapan, atau kehidupan pribadi orang lain yang tidak
ada kaitannya dengan dirinya. Meskipun dibungkus dengan humor atau ucapan
“hanya bercanda,” namun hakikatnya sama karena tetap mengupas aib yang
seharusnya ditutup.
Sebagaimana
yang telah maklum, perbuatan ghibah adalah salah satu dosa besar, terlarang
dan dapat merugikan diri sendiri. Disebutkan dalam hadits Rasulullah Saw,
diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ
الْإِيمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا
عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللّٰهُ
عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللّٰهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Rasulullah
Saw bersabda, Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya tetapi imannya
belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing (mengghibah) kaum
Muslimin dan jangan mencari-cari kesalahan mereka. Sesungguhnya siapa yang
mencari-cari kesalahan saudaranya, Allah akan membuka aibnya; dan siapa yang
Allah buka aibnya, maka Allah akan mempermalukannya meskipun di dalam rumahnya
sendiri.” (HR. Ahmad)
Kaum
muslimin yang berbahagia.
Setelah
hasad dan ghibah, julid juga acap kali menggiring kepada namimah.
Karena ketika informasi sensitif-negatif disebarkan, di-capture, atau
diceritakan ulang, maka akan mengantarkan kepada adu domba.
Julid
jenis ini, memang awalnya hanya komentar pribadi, namun bisa berakibat fatal.
Karenanya, hubungan pertemanan dan silaturahim dapat terputus, menimbulkan
kebencian, bahkan mengadu satu pihak dengan pihak lain.
Selain
itu, dengan kita melakukan julid yang menjurus kepada namimah ini pula,
langkah cita-cita kita yang ingin masuk surga, juga dapat terhenti seketika.
Sebab, dalam hadits riwayat Imam Muslim disebutkan:
فَقَالَ حُذَيْفَةُ: سَمِعْتُ رَسُولَ
اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Dari
Hudzaifah r.a. berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda, Tidak akan masuk
surga orang yang suka mengadu domba (nammam).” (HR. Muslim)
Kaum
muslimin yang dirahmati oleh Allah,
Kita
memahami bahwa sikap julid bukanlah hal yang sepele. Ia bisa berawal dari rasa
iri, lalu berubah menjadi ghibah, dan berakhir pada namimah. Tiga hal ini
merupakan dosa besar yang sangat dilarang dalam Islam karena dapat merusak
hati, meretakkan hubungan antarsesama, serta menghapus pahala amal
kebaikan.
Maka,
kita sebagai seorang muslim yang benar-benar memahami ajaran agama, hendaknya
menjaga lisan dan menahan diri dari membicarakan keburukan orang lain, baik
secara langsung maupun di media sosial.
Kita
juga terus berdoa untuk kebaikan bangsa, Negara dan negeri kita dan terjaga
dari segala keburukan, perpecahan dan adu domba, kita juga mendoakan saudara/I
kita di berbagai Negara Muslim khususnya di Palestina dianugerahkan kedamaian,
kesejahteraan dan terhindar dari berbagai kejahatan dan genosida. Amin Ya Rabb…
بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِيْ
وَلَكُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ
Khutbah Jumat
Masjid Nurul Falah Purnama
Menjaga Aib
Orang Lain di Era Digital
Ust Dr KH Hasbullah Ahmad, MA
(Owner Sekolah Qur’an Hadis dan Sains Jambi, Dosen Tetap Ilmu al-Qur’an, tafsir dan Hadis UIN STS Jambi, Wakil Rois Syuriah PWNU Provinsi Jambi dan Ketua Komite Dakwah Khusus MUI Kota Jambi, Wakil Pimpinan Ponpes PKP al Hidayah Jambi)
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ جَعَلَ السِّتْرَ خُلُقًا
لِلصَّالِحِينَ، وَنَهَى عَنِ التَّجَسُّسِ وَتَتَبُّعِ أَخْبَارِ النَّاسِ سِّرًا
وَعَلَانِيَةً بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيبَنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ وَمَنِ اتَّبَعَ هُدَاهُ إِلَى
يَوْمِ الدِّينِ، اَمَّا بَعْدُ. فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ
وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ. وَقَدْ قَالَ: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا
اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ
مُّسْلِمُوْنَ
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah
Mengawali khutbah ini, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita
kepada Allah swt dengan sebenar-benarnya takwa, dengan menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Firman Allah Swt QS ‘Ali Imran 102:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ
تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
muslim.”
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah
Di Era Digital dan Transformasi ini kita dihadapkan dengan berbagai
macam tantangan, seperti satu kesalahan kecil bisa menyebar lebih cepat
daripada niat seseorang untuk memperbaikinya. Satu potongan video, satu kalimat
yang diambil tanpa konteks, bisa menghancurkan nama baik seseorang yang
sebelumnya dikenal berakhlak baik. Bahkan mungkin bukan sekedar nama baik, tapi
bisa melemahkan mentalnya hingga membuatnya tak pernah mau untuk berubah lebih
baik. Kita sering mudah menekan tombol share, tapi jarang menekan tombol
tahan dulu, pikir dulu. Padahal dalam Islam, menjaga kehormatan sesama muslim
adalah ibadah yang besar. Rasulullah ﷺ
bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللّٰهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi
(aib)nya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim no. 2699).
Menutupi bukan berarti membenarkan dosa, tapi bentuk kasih sayang
agar seorang hamba masih punya ruang untuk bertobat. Para ulama menyebut hal
ini sebagai الإِقَالَةُ عَنِ العَثَرَاتِ
(iqālatul ‘atsarāt) yaitu
memaafkan dan menutupi kesalahan orang yang tergelincir, selama tidak berkaitan
dengan pelanggaran hukum Allah.
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah
Para ulama menjelaskan bahwa manusia terbagi menjadi dua golongan
dalam hal ini:
1. Orang yang terjaga kehormatannya dan tidak dikenal dengan dosa
atau maksiat. Jika ia tergelincir dalam kesalahan, maka tidak boleh aibnya
disebarkan. Ia lebih butuh nasihat, bukan penghakiman. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا الْحُدُودَ
“Maafkanlah kesalahan orang-orang yang berakhlak baik di antara
kalian, kecuali dalam perkara hukum Allah.” (HR. Abu Dawud
no. 4375, an-Nasa’i no. 4887).
2. Orang yang terang-terangan berbuat dosa dan bangga dengan
maksiatnya. Untuk mereka, masyarakat tidak boleh menormalisasi perbuatannya.
Namun tetap dengan adab, bukan dengan cercaan, hujatan, atau perundungan.
Sayangnya, di zaman ini, banyak orang lebih sibuk mencari kesalahan
orang lain, sementara lupa bahwa dirinya pun memiliki dosa yang Allah masih
tutupi.
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah
Menutupi aib bukan kelemahan, tapi tanda keimanan dan kasih sayang.
Ibnu Hajar al-Asqalani -rahimahullah- menjelaskan dalam Fath al-Bari,
bahwa makna “menutupi” dalam hadis di atas mencakup dua hal:
Pertama Menjaga kehormatan orang yang berbuat salah agar tidak
rusak di mata manusia. Kedua Tidak menyebarkan kesalahannya agar ia punya kesempatan
memperbaiki diri. Rasulullah ﷺ juga bersabda:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللّٰهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang hamba tidak menutupi (aib) saudaranya di dunia, kecuali
Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat.”(HR. Ahmad no.
19891, dinilai sahih oleh Al-Albani).
Setiap kali kita menahan diri dari menjelekkan orang lain,
sebenarnya kita sedang menyiapkan perlindungan Allah untuk diri kita sendiri.
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah
Saat ini kita hidup di era digital. Melalui internet dan media
sosial, semua orang dapat dengan mudah mengetahui berbagai informasi, kehidupan
pribadi orang lain, bahkan sampai ke hal-hal yang seharusnya tidak perlu
diketahui publik.
Karena hal tersebut, tidak sedikit dari kita yang merasa senang
ketika menemukan kesalahan atau aib orang lain, lalu dengan cepat
menyebarkannya ke berbagai platform, sehingga membicarakannya di kehidupan
nyata.
Padahal, Islam dengan tegas melarang umatnya untuk mencari-cari
kesalahan orang lain. Setiap individu yang merasa dirinya muslim, wajib menjaga
kehormatan orang lain dan tidak mencampuri urusan pribadi yang bukan tanggung
jawabnya, apalagi sampai ke ranah privasi. Sebagaimana larangan ini ditegaskan
oleh Allah swt dalam firman-Nya, QS al-Hujurat ayat 12:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا
مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ
بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka!
Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang
lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah
Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah.
Menegur Tanpa Menghina, Menegur itu perlu, tapi cara yang
salah bisa mengubah nasihat menjadi penghinaan. Ulama salaf berkata:
مَنْ نَصَحَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَيَّنَهُ، وَمَنْ
نَصَحَهُ عَلَانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ
“Barang siapa menasihati saudaranya secara diam-diam, maka ia
benar-benar telah menasihatinya dan memperbaikinya. Namun siapa yang menasihati
di depan umum, maka ia telah mempermalukannya dan mencelanya.”
Begitulah adab dalam memberi nasihat, Islam tidak melarang amar
ma’ruf nahi munkar, tapi melarang penghinaan dan celaan. Allah Ta‘ala
berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku
adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa.” (QS.
Al-Mā’idah: 8).
Adil artinya tidak menutup mata terhadap kesalahan, tapi juga tidak
menutup hati terhadap kebaikan. Seseorang bisa salah di satu sisi, tapi tetap
punya amal saleh di sisi lain. Ibnu al-Musayyib rahimahullah berkata:
لَيْسَ مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ إِلَّا وَلَهُ خَطَأٌ، وَلَكِنْ مَنْ
كَانَتْ حَسَنَاتُهُ أَكْثَرَ مِنْ سَيِّئَاتِهِ فَهُوَ الْمَغْفُورُ لَهُ
“Tidak ada manusia yang sempurna. Namun siapa yang kebaikannya
lebih banyak daripada keburukannya, maka keburukannya diampuni karena
kebaikannya.”
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah.
Menjadi Penutup, Bukan Penyebar, Menjadi penutup
aib orang lain adalah bentuk ibadah yang penuh kasih, empati, dan kesadaran
diri, bahwa kita pun butuh ampunan yang sama.
Sebelum jari ini tergesa menulis komentar tajam atau menyebarkan
potongan video seseorang, tanyakanlah pada diri sendiri: “Kalau aku yang
salah, apakah aku ingin diperlakukan seperti ini?” Jika jawabannya tidak,
maka berhentilah jadi penyebar. Jadilah penutup.
Karena bisa jadi, ketika kita menutupi aib saudara kita, Allah
sedang menutupi aib kita di hadapan seluruh makhluk-Nya. Menutupi aib adalah
tanda iman, sedangkan menelanjangi kesalahan orang lain adalah tanda hati yang
belum bersih. Islam tidak hanya mengajarkan kebenaran, tapi juga etika dalam
menyampaikan kebenaran, agar perbaikan benar-benar mendatangkan maslahat yang
lebih besar, dan nasihat tidak berubah menjadi penghinaan.
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah
Mulai saat ini, kita harus belajar menjaga privasi dan menahan
diri dari mencari aib orang lain. Perlu diingat, bahwa Allah secara tegas
melarang kita untuk mencari-cari kesalahan dan aib orang lain, sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 12. Begitu pula Rasulullah saw
memperingatkan agar umatnya tidak mengintai dan membuka aib sesama Muslim,
karena siapa yang melakukan hal itu, Allah akan membuka aibnya bahkan di
rumahnya sendiri.
Terakhir, di era digital yang serba terbuka ini, ujian menjaga
lisan dan jari akan menjadi semakin berat. Oleh sebab itu, marilah kita
berhati-hati dalam menggunakan internet, media sosial, tidak mudah menyebarkan
keburukan, dan selalu menutup aib sesama sebagaimana kita ingin aib kita
ditutup oleh Allah swt, baik di dunia, maupun akhirat. Kita
juga mendoakan saudara/i kita di Palestina dan beberapa Negara muslim lain
segera diberikan kedamaian, ketenangan dan kesejahteraan atas genosida dan
kejahatan zionis yahudi yang terlaknat, dan kita juga mengecam mereka yang
menyudutkan pesantren, kyai/ulama dan berbagai institusi Pendidikan Islam
dengan fitnah dan kebohongan. Semoga bangsa, Negara dan Negeri kita senantiasa
di Jaga Allah SWT dengan Kedamaian, kesejahteraan dan persatuan. Amin Ya Rabb.
بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ
الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ لِيْ وَلَكُمْ
وَلِلْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
.jpg)
Di sebuah pesantren yang terletak di pinggir kota, ada satu kelas yang selalu ramai. Bukan karena nakal, tapi karena semangat santri-santri yang tak pernah habis. Namun, semangat itu kadang membuat suasana belajar menjadi sulit dikendalikan. Guru-guru sering kewalahan saat mengajar, karena santri-santri cepat bosan, sulit fokus, dan suka mengobrol saat pelajaran berlangsung.
Hingga suatu hari, datanglah seorang guru baru, ustadzah suci. Perawakannya sederhana, suaranya tegas tidak keras, tapi bisa membuat santri semua terdiam. Ia ditugaskan untuk mengajar Akidah akhlak di kelas itu.
Hari pertama mengajar, ustadzah suci kewalahan mendapati beberapa kendala saat mengajar. Berbagai upaya telah dilakukan namun tak kunjung berhasil.
Tidak menyerah. Di hari selanjutnya, ustadzah suci mencoba untuk tidak langsung membuka buku paket. Ia memandang santri satu persatu, lalu tersenyum dan berkata: “Ananda semua.... sebelum kita belajar, ustadzah mau cerita dulu. Cerita ini bukan sembarang cerita. Ini cerita nyata.”
Spontan, kelas yang biasanya ribut langsung hening. Pintu yang sebelumnya terbuka lebar, lampu yang menyala, dan tirai juga terbuka lebar. Dengan semangat tangan-tangan yang mungil itu tergerak secepat kilat menutup pintu, memadamkan lampu, dan menutup tirai kelas.
Melihat perlakuan santri membuat ustadzah suci tersenyum dan mulai bercerita tentang sebuah Lilin yang tak pernah padam. Suaranya pelan, penuh jeda, dengan ekspresi wajah yang serius tapi tidak menyeramkan. Santri-santri merinding, tapi tidak bisa berhenti mendengarkan.
Saat cerita sampai di bagian paling menegangkan tentang suara ketukan terdengar dari arah pintu luar, tiba-tiba bel sekolah pun berbunyi. Dan ustadzah suci hanya berkata pelan: “Bersambung, Insyaallah nanti ustadzah lanjutkan lagi ceritanya ya”
Sejak hari itu, santri berubah. Biasanya kalau jam pelajaran dimulai, santri masih di luar kelas, ada yang makan snack, ada yang ngobrol. Tapi sekarang? Santri duduk manis lima menit sebelum bel berbunyi bahkan melirik ke arah pintu berkali-kali, berharap ustadzah suci segera datang.
Setiap kali melihat sosok ustadzah suci dari ujung lorong, beberapa dari santri langsung berdiri dan berkata sambil tersenyum:
“zah! Lanjutin yang kemarin, ya!”
“Nanti cerita lagi kan, zah?”
“zah horor lagi ya, horor lagi!”. Bahkan sebelum masuk kelas, di depan pintu, suara santri sudah ramai: “zah suci, Jangan lupa cerita yaaa!”
" Zah ana masih ingat cerita kemarin, soalnya ana catat, ayo masuk zah kita cerita lagi". Dan setiap kali itu juga, ustadzah suci hanya tertawa kecil dan menjawab:
“Tapi harus janji dulu, setelah cerita tetap belajar, ya?”
Mereka semua kompak mengangguk. Dan benar saja, setelah cerita selesai, kelas jadi lebih tenang dari biasanya. Rasa penasaran yang memuncak di awal pelajaran membuat mereka lebih fokus di sisa waktu belajar.
Cerita-cerita ustadzah suci selalu bersambung.
Kadang tentang dua kursi yang selalu berpindah tempat di ruang guru, pohon tua yang menangis, atau jam dinding yang berhenti di waktu yang sama setiap malam. Tapi selalu ada makna tersembunyi di balik kisah itu.
Mereka belajar menyimak. Mereka belajar menganalisis. Bahkan, mereka diminta untuk membacakan doa-doa ketika melakukan sesuatu agar terhindar dari marabahaya.
Mereka pun sadar, ustadzah suci tidak hanya sedang bercerita.
Namun juga mengajarkan mereka mencintai kata-kata.
Membuat mereka percaya bahwa membaca, menulis, dan mendengar bisa semendebarkan kisah horor yang diceritakan.
Sekarang, setiap kali ustadzah suci lewat di koridor, tidak ada satu pun dari santri yang tak tersenyum.
“zah, nanti masuk ke kelas kami lagi ya!”
“Jangan lupa cerita kemarin dilanjukan lagi ya!”
"Besok cerita lagi kan, zah? Jangan lupa sambungannya!"
Dan setiap kali itu juga, ustadzah suci hanya mengangguk, dengan senyum misterius seperti biasa, seolah menyimpan satu cerita lagi yang belum sempat Ia ceritakan.
Pesan dari Cerita Ini:
Kadang, bukan materi pelajaran yang membuat anak-anak mencintai kelas, tapi cara seorang guru membuat mereka menunggu setiap menit kebersamaan di dalamnya.
Lewat cerita, seorang guru bisa membuka pintu ke dunia imajinasi
dan menyelipkan pelajaran di tempat yang paling tidak terduga, di tengah rasa penasaran dan senyuman yang tulus.
Aku dan
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Khairani Sapitri
Menurutku,
berbagi adalah sesuatu yang indah, apalagi itu bisa menumbuhkan serta membangun
semangat membara dalam jiwa seseorang. Dan dalam tulisan ini akan kusampaikan
beruntai-untai kalimat dari imajinasi otakku, lebih tepatnya cerita jiwa yang
benar-benar kualami selama 17 tahun hidup sebagai seorang ‘manusia'.
Rasanya
terlalu cepat waktu berpacu selama ini, hingga tak terasa kini aku sudah berada
di bangku perkuliahan yang pada kenyataannya akan sangat berbeda dengan jenjang
pendidikan 12 tahun silam. Dan sudah
beberapa kali jika kuhitung, rasa yakin dan pesimis terasa imbang untuk
kujadikan sebuah cambuk hidup bagi jiwa dan raga yang tak selaras ini. Namun,
kini aku sudah melewati tahapan awal sebagai seorang remaja, dan kini sudah
menyandang gelar mahasiswa di UIN STS
Jambi
sebagai bagian baru dalam keluarga Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Sebuah bidang
yang sama sekali tak kupikirkan akan menjadi bagian dari tiap patok perjalanan
hidup seorang Khairani Sapitri, perempuan kelahiran Jambi 18 Agustus 2003 yang
sayangnya menyukai dunia sastra dan ilmu fisika dan berangan-angan ingin
menjadi seorang ilmuwan, dosen, sekaligus penulis di masa yang akan datang.
Benar-benar aneh namun masih terus kujadikan target hidup pasti agar bisa
membalas segala jasa kedua orang tuaku di masa tua mereka nanti.
IAT
sejujurnya bukanlah pilihan pertama yang ingin kujadikan bagian dalam nominasi
jurusan di beberapa PTN yang ingin aku pilih sewaktu di Aliyah. Bahasa
Indonesia, Fisika, dan Geofisika adalah pilihan paling pertama dalam benakku
sejak naik ke kelas XI di bangku Aliyah, dan itu memang jurusan yang sudah
kuyakini dan kupikirkan dengan sangat matang. Dan lagi-lagi, jika kuminta
pendapat kedua orang tuaku soal apa yang hendak kuperjuangkan selepas lulus
Aliyah, hanya kata agama yang terlintas di benak keduanya. Aku tersenyum kecil
sembari menghela napas dengan tertahan, ingin rasanya bertindak egois dan
bersikap berani untuk pertama kalinya di depan kedua orang tuaku saat itu,
namun aku tak tega untuk melakukannya-aku takut mereka menangis bila diriku
egois-dan ini mungkin untuk kesekian kalinya diriku diam dan mengalah lagi.
Sejujurnya,
sejak kecil aku selalu imbang untuk mempelajari semua pelajaran, tidak TK dan
langsung masuk SD dibarengi dengan belajar di madrasah ketika sore hari, lalu
lanjut ke MTs An-Nizham dengan uang hasil tabunganku sendiri dan lagi-lagi
melanjutkan perjalanan pendidikanku ke MA Laboratorium dengan kedok agar pulang
pergi bisa berjalan kaki dan ditambah lagi dengan beasiswa dari MTs karena
menjadi siswa berprestasi. Tak banyak yang tahu tentang diriku, termasuk mamak
yang terlihat paling semangat soal pendidikanku
ituditambah lagi kabar beasiswa yang seolah-olah adalah fatamorgana dan
mamak bagaikan seonggok tubuh kurus kering setengah mati yang tergeletak naas
di gurun Sahara. Saat itu aku tersenyum lebar karena bisa melihat pancaran
kebahagiaan dalam manik mata sayu beliau,
tak ingin merusak euforia yang saat itu melanda karena betapa histeris
dan gemparnya seisi rumah akibat seruan kebahagiaan mamak. Sudah persis bagai pemenang
door prize jalan santai di gubernuran dengan air mata yang meluber
hingga membasahi bagian atas jilbabnya, dan kami penghuni seisi rumah hanya
bisa tersenyum sembari menahan tawa karena betapa kocaknya bentuk muka mamak
yang terlihat di netra kami masing-masing.
Kita
tinggalkan sejenak keharuan cerita mamak di atas. Karena sekarang, aku ingin
menceritakan pokok permasalahan dan inti dari cerita ini-tentang alasan dan
latar belakang terpilihnya UIN STS Jambi dan jurusan IAT olehku di saat aku
bahkan baru memasuki umur 16 tahun-kelas XII. Dan itu karena sebuah masalah di
rumah dan beberapa contoh cerita nyata yang sempat terpikirkan olehku di malam
harinya. Sebuah peristiwa pilu yang tak sengaja terekam jelas oleh indra
pendengaran ini ketika melewati kamar bapak dan mamak, sebuah bentakan dan
tangis dari mamak terdengar sangat jelas dari tempatku berdiri sambil gemetar
menahan tangis. Dan sejak saat itu, aku mengucapkan salam perpisahan pada
mimpi-mimpi besarku itu sambil tersenyum namun dalam keadaan yang benarbenar
tidak baik. Dan di saat genting seperti itu, seseorang datang ke dalam mimpiku
dengan senyum mengembang dan beberapa buku yang terlihat didekap oleh wanita
setengah baya itu dengan sangat erat di depan dada. Dan karena beliau, aku
sedikit berpikir dan mencoba mengerti keadaan keluargaku yang terbilang kurang
mampu untuk menyekolahkan dua pasang anak yang masih ingin meneguk enaknya
pendidikan wajib belajar 12 tahunnya.
Keesokan
harinya aku mulai mendatangi perpustakaan daerah di belakang gedung UIN STS
Jambi untuk Pascasarjana dengan menggunakan sepeda punya sepupu, mencoba
memahami apa itu agama dan jenis bidang pengaplikasiannyajurusan. Selang
beberapa hari kupusatkan kegiatan membaca buku-buku islami di sana, aku merasa
telah jatuh hati pada bidang itu, terlebih lagi ada mahasiswa IAT yang pernah
diajak ibu-ibu masjid ketika bulan puasa tahun lalu dan aku ada di antara desak
dan sesaknya bahkan untuk sekadar duduk bersimpuh sambil mendengarkan kajian
kakak itu dalam membahas beberapa ayat Al-Qur’an. Benarbenar aneh, kenapa bisa
begitu cepat aku mencintai bidang itu ?! Ini hampir sama cepatnya dengan aku
mencintai bidang pilihanku sendiri yang tentunya sesuai dengan kemampuan dan
bakat diriku. Keren sekali diriku ini, terlalu mudah jatuh hati pada bidang
lain padahal tak punya bakat yang berkaitan dengannya sama sekali.
Lambat
laun semua berjalan dengan sangat cepat, dan fokusku terpecah di antara
inginnya aku mengasah lebih tajam kemampuanku di bidang bahasa dan fisika, juga
mengenal lebih jauh yang namanya pelajaran soal menafsirkan Al-
Qur’an
sesuai kaidah yang baik dan benar. Dan akhirnya pilihan hati kecilku jatuh pada
IAT dengan aura para guru di kantor yang seolah memecahkan ketenangan atmosfer
di sana, aku menegak saliva dengan penuh kehati-hatian, semua seolah ingin
menerkamku atas ucapan tegas dan lantang dariku saat seorang guru SKI menanyai
apa pilihanku di jenjang pendidikan selanjutnya yaitu IAT.
“Kan
ibu sudah kasih saran untuk ambil jurusan fisika saja, karena kamu pandai di
bidang itu.” Guru fisikaku menyela dengan raut wajah kecewa, aku tergelak
seketika.
Lalu
guru agama lain berdiri dari kursinya dan mendekatiku. “Kenapa tidak ambil
jurusan PAI saja, Khairani, bapak yakin kamu akan bisa dengan mudah
mengembangkan bakat mengajarmu kelak.”
“Apa
yang bisa dihasilkan dari jurusan itu untukmu, Ran? Padahal kamu sudah
menguasai lebih dalam bidang kepandaianmu sendiri, apa ini permintaan kedua
orang tuamu?” Aku terkejut, apa sebegitu tampaknya ketidakrelaanku saat
menjawab jurusan yang akan kupilih tadi? Padahal aku sudah sangat yakin,
mengapa jadi ragu kembali? Argh..! Kenapa keraguan menyelimuti benak kalutku
kembali?!
“Termasuk
itu juga, Bu. Tapi Rani benar-benar yakin kok
bisa mempelajari bidang ini dengan semangat, soalnya sepertinya seru dan
menantang untuk Rani pelajari.” Jawabku dengan napas menggebu di dada dan
sedikit senyum lebar yang kuberi sebagai pemanis agar para guru di kantor
semakin yakin dan mau mendukung pilihanku saat itu.
“Huh? Seru dan menantang? Yang benar saja
Rani, jurusan bukan sesuatu yang bisa kamu anggap permainan dan dapat
diselesaikan dengan mudah, kamu itu bakatnya di linguistik dan juga sains,
kenapa malah menyimpang ke ranah baru?” seru wali kelasku yang baru saja keluar
dari tempat pengambilan air minum kantor, beliau memang mendukungku untuk
mengambil jurusan bahasa di UNJA sejak kelas XI.
“Sudahlah
Pak, Bu. Murid kita yang satu ini ingin mempelajari bidang yang tak diajarkan
di sekolah ini, jika dia bersungguh-sungguh dan yakin untuk itu maka kita
sebagai orang tua keduanya di sekolah wajib mendukung. Benar tidak, Ran?” Salah
seorang guru yang kebetulan Waka kurikulum menyela dan tersenyum penuh arti
padaku. Ah... Rasanya bahagia sekali
ada yang mendukung keinginanku di saat genting seperti saat itu.
Guru SKI yang berada di sampingku langsung
memegang kedua bahuku erat, menatap dalam-dalam netra cokelat tua milikku.
“Ya
sudah, ibu akan dukung kamu, tapi ingat ya, Rani, kami semua tidak ingin
mendengar kamu menyerah di tengah jalan. Kami semua bangga memilikimu sebagai
anak didik di sini, jadi pulanglah kembali jika sudah sukses kelak, ya? Kamu
anak yang cerdas dan berbakat, bahagiakan mamak dan bapakmu itu dengan segenap
jiwa dan ragamu.” Sebuah pelukan hangat menyatu begitu saja pada tubuh kurus
keringku, sosok wanita berumur yang dulu ingin mengangkatmu menjadi anaknya
dulu ketika awal kelas X mendekapku erat sambil terisak. Dan semua yang ada di
dalam ruangan bernuansa putih itu juga terlihat berkaca-kaca seolah ingin
menumpahkan tangis mereka untukku, padahal belum tamat tapi sudah menangis
berjamaah dalam kantor. Ya Salam... Antara
ingin tertawa tapi dalam keadaan air mata tumpah ke mana-mana, bahkan ingus pun
hendak turun aksi dalam tragedi haru kala itu. Hahaha.
Dan
kini, di sinilah aku berdiri dengan mantapnya, titik terang dari segala keluh
kesah dan tantangan yang menjadi pemanas diri dalam mencari kebenaran tentang
tujuan dan jati diriku sendiri. Sebuah instansi yang terkenal dengan warna
birunya, ramahnya setiap warga kampus di dalamnya, dan keluarga baruku yang
bernama IAT. Kerja sampingan yang menguras tenaga, kejar target nilai raport
tinggi, terus menulis di waktu luang, meng-handle
dua rumah sekaligus, dan tetap menjadi keluarga TPA di masjid sebagai kakak
sekaligus guru bagi anak-anak kecil dengan jiwa nakal dan ingin tahu mereka
yang tinggi sepertiku dulu.
Pilihan
tepat ini mengajarkan sebuah ibrah yang
benar-benar penting, karena saat ini leher para muslim seolah tercekik, dada
mereka sesak, dan hati tercabik dengan keadaan Islam saat ini. Dan aku ingin
menjadi salah satu bagian dari revolusi Islam yang lebih baik lagi lewat
pengamalan Al-Qur'an sesuai manhaj
yang diajarkan oleh sahabat nabi SAW. Dan juga ini sesuai dengan atsar yang cukup populer, dikatakan
bahwa : “ Jadilah Anda Al-Qur’an yang berjalan di antara manusia.”
IAT
memang baru bagiku, tapi bahasa dan fisika tetap bisa kupelajari sebagai
pendamping harian belajarku. Karena bapak sering bilang : Tidak ada hidup yang
tidak pernah terbanting dan jatuh, karena keras rasa sakit itu kamu akan
mengerti bahwa tidak ada yang sia-sia dari suatu usaha. Karena setiap usaha itu
akan terjalin dan akhirnya menuntun kita pada jawaban yang dinanti-nanti. Di
situ bapak mengujiku, beliau tahu bahwa aku ingin pengakuan darinya sejak SD
duludipuji dan diberi selamat ketika menjadi juara umum bahkan pemenang lomba
layaknya putri lain kepada ayahnya. Tapi aku cukup tahu diri, karena didikan
keras dari bapak aku sedikit jadi acuh terhadap hidup orang lain dan bagaimana
mereka yang dulu menertawakanku, karena aku setuju dengan perkataan dari eyang
Habibie: “Tidak ada suatu negara maju tanpa pendidikan yang keras.”
Terima
kasih untuk mamak dan bapak, aku akan menepati janjiku. Sungguh.